Konsep
Dasar Kejang Demam
A. Definisi
Kejang demam atau febrile convulsion adalah serangan
kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38° c), sering terjadi pada anak usia 6 bulan
hingga 5 tahun.
B. Etiologi
Menurut Arif
Mansjoer (Kapita Selekta kedokteran, 1999; 434)
§ Demam tinggi
yang disebabkan infeksi saluran nafas
atas, Pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
§ Riwayat kejang
demam pada orang tua atau saudara kandung.
§ Perkembangan
terlambat.
§ Problem pada
masa neonatus.
§ Anak dalam
perawatan khusus.
§ Riwayat
keluarga dengan epilepsi.
Menurut
Ngastiyah (Perawatan Anak Sakit, 1997 ; 230)
§ Riwayat
kejang tanpa demam dalam keluarga.
§ Kelainan
dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam.
§ Kejang yang
berlangsung lama atau kejang fokal.
§ Anak dengan
ambang kejang rendah
C. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari
permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan
normal, membran sel neuron dapat dilalui oleh ion K, ion Na, dan elektrolit
seperti Cl. Konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
1
|
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran
ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada
permukaan sel. Perbedaan potensial membran sel neuron disebabkan oleh :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya
mekanis, kimiawi, aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologis dari membran sendiri
karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat
celcius akan menyebabkan metabolisme basal meningkat 10-15% dan kebutuhan
oksigen meningkat 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh, sedangkan pada orang dewasa hanya 15%. Jadi
pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun
natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter sehingga terjadi kejang.
Tiap
anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang telah
terjadi pada suhu 38 derajat celcius, sedangkan pada anak dengan ambang kejang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 derajat celcius. Dari kenyataan ini
dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan
pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Infeksi yang terjadi pada jaringan luar
kranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis. Penyebab terbanyak
adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme
dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan di
respon oleh hipotalamus dengan menaikkan pengaturan suhu dihipotalamus sebagai
tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu
dihipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga
terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu dihipotalamus, otot, kulit dan
jaringan tubuh yang lain akan disertai pengeluaran mediator kimia seperti
epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang
peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang
merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel
menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang diduga dapat menaikkan fase
depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang.
D. klasifikasi
ada 2 klasifikasi
kejang demam yaitu :
1. Kejang
demam simpleks (paling sering terjadi pada anak sekitar 80% dari seluruh kejang
demam)
2. Kejang
demam kompleks
Perbedaan keduanya adalah :
KD Simpleks
|
KD kompleks
|
|
Durasi
|
< 15 menit
|
> 15 menit
|
Sifat kejang
|
Umum (
biasanya seluruh tubuh kejang, tangan ke atas dan mata terbalik)
|
Sebagian
anggota tubuh saja (parsial)
|
Pengulangan
|
Tidak berulang
dalam 24 jam
|
Dapat berulang
lebih dari 1 kali dalam 24 jam
|
Kemungkinan epilepsi
dikemudian hari
|
Hampir tidak
pernah
|
Sangat jarang
( 4%)
|
E. Manifestasi Klinik
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam
pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat
berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang
berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun
sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada
kelainan saraf.
-
Di Sebagian,
kriteria Livingstone dipakai sebagai pedoman membuat diagnosis kejang demam
sederhana, yaitu :
-
Umur
anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
-
Kejang
berlangsung tidak lebih dari 15 menit
-
Kejang
bersifat umum
-
Kejang
timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
-
Pemeriksaan
saraf sebelum dan sesudah kejang normal
-
Pemeriksaan
EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan
kelainan
-
Frekuensi
kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali
F. Gambaran Klinis
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam
pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat
berbentuk tonik-klonik, klonik, fokal, atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun sejenak,
tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa
defisit neurologis. Kejang dapat diikuti oleh hemiparesis sementara
(Hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang
unilateral yang lama diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang
yang berlangsung lama sering terjadi pada kejang demam yang pertama.
Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung
beberapa menit sampai lebih dari 30 menit, tergantung pada jenis kejang demam
tersebut. Sedangkan frekuensinya dapat kurang dari 4 kali dalam 1 tahun sampai
lebih dari 2 kali sehari. Pada kejang demam kompleks, frekuensi dapat sampai
lebih dari 4 kali sehari dan kejangnya berlangsung lebih dari 30 menit.
Gejalanya berupa:
¤ Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan
suhu tubuh yang tejradi secara tiba-tiba)
¤ Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5
menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam)
¤ Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot
menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik)
¤ Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot
yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit)
¤ Lidah atau pipinya tergigit
¤ Gigi atau rahangnya terkatup rapat
¤ Inkontinensia (mengompol)
¤ Gangguan pernafasan
¤ Apneu (henti nafas)
¤ Kulitnya kebiruan
Setelah mengalami kejang, biasanya:
¤ akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit
atau tertidur selama 1 jam atau lebih
¤ terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah
terjadi)-sakit kepala
¤ mengantuk
¤ linglung (sementara dan sifatnya ringan)
G. Komplikasi
1. Kejang berulang
2. Epilepsi
3. Hemiparese
4. Gangguan mental dan
belajar
I. Pemeriksaan Diagnostik
1.
Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan
predisposisi kejang (N<>BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang
dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan
elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00
meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144
meq/dl )
2.
Cairan
Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan
penyebab kejang.
3.
Skull
Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4.
Tansiluminasi
: Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2
tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5.
EEG :
Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6.
CT Scan
: Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma,
abses, tumor dengan atau tanpa kontras.
J. Penatalaksanaa medis
Menurut Ngastiyah (1997: 232-235) dan Hassan
& Alatas (195: 850-854) ada 4 faktor yang perlu dikerjakan :
1. Segera diberikan diezepam intravena dosis rata-rata 0,3mg/kg ≥ 10 kg = 10 mg
Bila kejang tidak berhenti tunggu 15
menit atau diazepam rektal dosis ≤ 10 kg = 5mg/kg dapat diulangi dengan
dosis/cara yang sama.
Kejang berhenti berikan dosis awal fenobarbital
neonatus =30 mg IM
1 bln-1 thn=50 mg IM
>1 thn=75 mg IM
Ø Pengobatan rumat
4 jam kemudian
Hari I+II = fenobarbital 8-10 mg/kg dibagi dlm 2 dosis
Hari berikutnya = fenobarbital 4-5 mg/kg dibagi dlm 2 dosis
Bia diazepam tidak tersedia langsung memakai
fenobarbital dengan dosis awal selanjutnya diteruskan dengan dosis rumat.
2. Membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya
3. Meurunkan panas bila demam atau hipereaksi,
dengan kompres seluruh tubuh dan bila telah memungkinkan dapat diberikan parasetamol
10 mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3 mg/kgBB
4. memberikan cairan yang cukup bila kejang
berlangsung cukup lama (> 10 menit) dengan IV : D5 1/4, D5 1/5, RL.
Ada juga penatalaksanaan yang lain yaitu:
a.
Bila
etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan.
Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 - 4 ml/kg
BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10
% sebanyak 60 - 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca - glukosa
b.
hendaknya
disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi.
Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena
tidak mungkin, berikan larutan Ca
Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan
pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB
(IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi
hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat
muncul.
c.
Pengobatan
dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia
atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru
lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang
rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena
asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan
dalam 2 dosis selama 20 menit.
Penatalaksanaan
keperawatan
1. Penatalaksanaan keperawatan saat serangan
kejang adalah :
2. Semua pakaian ketat dibuka
3. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah
aspirasi isi lambung
4. Usahakan agar jalan napas bebasuntuk
menjamin kebutuhan oksigen
5. Pengisapan lendir harus dilakukan secara
teratur dan diberikan oksigen
6. Pasang
tongspatel saat timbul serangan kejang
Pengobatan rumat
Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada
hari pertama, kedua diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya.
A. Pengkajian
1. Identitas
Klien
Umur
biasanya enam bulan sampai empat tahun, jenis kelamin laki-laki perempuan
dengan perbandingan 2:1, Insiden tertinggi pada anak umur dua tahun.
(Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, 1997 ; 231)
2. Riwayat
Kesehatan
-
3. Keluhan
utama
Kejang
karena panas.
4. Riwayat
penyakit sekarang
1). Lama kejang
kurang dari lima menit.
2). Kejang bersifat general.
3). Kejang
terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam.
4). Tidak ada
kelainan neurologis baik klinis maupun laboratorium.
5. Riwayat
penyakit dahulu
Adanya
faktor predisposisi terjadinya kejang demam antara lain trauma kepala, Infeksi,
dan reaksi terhadap imunisasi. (Saharso D,
1996: 43)
6. Riwayat
penyakit keluarga
25-50 %
kejang demam mempunyai faktor keturunan adanya faktor keluarga yang menderita
kejang demam, penyakit saraf atau penyakit lainnya. (Saharso D, 1996 : 42)
7. Riwayat
sebelumnya
1). Riwayat kehamilan : penyakit yang
diderita ibu, perdarahan pervagina
dan obat- obatan yang digunakan.
10
|
antepartum,
KPD, Aspixia. (Saharso D, 1996 43)
8. Activity
Daily Live
1). Makanan atau cairan
Pasien akan mengeluh sensitif terhadap makanan yang
merangsang aktivitas kejang, kerusakan gigi, adanya hiperplasi ginggiva sebagai
akibat efek samping dilantin.
2). Aktivitas dan Istirahat
Pasien mengeluh capek, lelah, kelemahan umum,
pembatasan aktivitas dan perubahan tonus otot.
3). Eleminasi
Incontinensia
Face Ictal : peningkatan tekanan blader dan tonus
springter.
Post ictal :
relaksasi otot.
4). Riwayat Psiko sosial
i.
Psiko
Anamnese tentang temperan anak, kemampuan kognitif dan
respon tentang kondisi sakit serta hospitalisasi.
ii.
Sosial
Anamnesa terhadap status dan sumber ekonomi keluarga,
respon keluarga dan pola perawatan anak sehari-hari.
9. Pemeriksaan
a) Tanda-tanda vital
Kesadaran terjadi penurunan
Fase Ictal : Peningkatan nadi, respirasi, tekanan
darah dan Suhu.
Post ictal : V5 normal kadang depresi.
b) Pemeriksaan Fisik
·
Kepala :
Disporposi bentuk kepala, kejang umum, tonik klonik
dan sakit kepala.
·
Mata :
Dilatasi Pupil, gerakan bola mata dan kelopak mata
cepat, reflek cahaya turun dan konjungtiva merah.
·
Mulut :
Produksi saliva berlebihan, vomiting dan Cyanosis
mukosa mulut.
·
Hidung :
Adanya pernafasan cuping hidung, Cyanosis.
·
Leher :
Biasanya terjadi kaku
kuduk.
·
Dada :
-
Fase ictal : Cyanosis, penurunan gerakan pernafasan
dan adanya tarikan intercostae.
-
Post ictal : Apnoe atau nafas dalam dan lambat.
·
Abdomen :
-
Fase Ictal : Peningkatan blader dan tonus otot
spingter.
-
Post ictal :
relaksasi otot dan hiperperistaltik.
·
Ekstermitas
Fase Ictal : kejang pada ekstremitas
atas dan bawah dan cyanosis pada jari tangan dan kaki.
Post ictal :
relaksasi otot dan nyeri serta kelemahan pada otot.
c) Pemeriksaan Umum
Ø Elektrolit :
Ketidakseimbangan elektrolit
merupakan predisposisi kejang.
Ø Glukosa :
Hipoglikemia merupakan predisposisi
kejang.
Ø BUN :
Peningkatan BUN merupakan potensi
kejang.
Ø CBC:
Anemia Aplastik dapat terjadi
sebagai efek samping pemberian obat-obatan.
Ø Skull X-ray :
Adanya desak
ruang dan lesi.
Ø EEG :
Fokus aktivitas kejang.
Ø
CT scan :
Mendeteksi
lesi lokal serebral abses tumor dengan atau tanpa kontras.
B.
Analisa
Data
No
|
Data
|
Masalah
|
Etiologi
|
1
|
Ds
:
Ibu pasien mengatakan anak terlihat tersedak-sedak
Do
:
RR #,
irama pernafasan cepat dan dangkal, lidah terlihat menekuk ke dalam
|
Resiko
tinggi obstruksi jalan nafas
|
Penutupan
faring, spasme otot bronkus
|
2
|
Ds
:
Ibu mengatakan badan anak demam
Do
:
S: 38 0C, kening teraba
panas, terdapat pembengkakan kemerahan pada tonsil atau telinga.
Leukosit
: 11.000mg/dl
|
Hipertermi
|
Infeksi
( kelenjar tonsil, telinga, bronkus )
|
3
|
Ds :
Ibu pasien mengatakan
anak kejang
Do :
Kesadaran apatis,
anak terlihat diam dan linglung
|
Resiko cedera
|
penurunan
kesadaran pada saat kejang.
|
4
|
Ds :
Keluarga mengatakan
masih belum mengerti tentang penyakitnya
Do :
Keluarga sering
bertanya
|
Cemas
|
krisis
situasional
|
C. Diagnosa
1. Resiko
tinggi obstruksi jalan nafas b/d Penutupan faring, spasme otot bronkus
2.
Hipertermia
b/d proses infeksi.
3. Resiko cedera b/d penurunan kesadaran pada saat
kejang.
4.
Cemas b/d krisis situasional
D. Intervensi
No.
DX
|
Diagnosa
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Resiko tinggi obstruksi jalan nafas
b/d Penutupan faring, spasme otot bronkus
Tujuan :
Mempertahan-kan efektivitas pola nafas
dengan jalan nafas yang bersih dan tercegah dari aspirasi
|
1. Observasi
jalan nafas, frekwensi pernafasan, irama pernafasan tiap 15 menit pada saat
penurunan keasadaran
2. Tempatkan
anak pada posisi semifowler dg kepala hiperektensi
3. Pasang
tongspatel saat timbul serangan kejang
4. Bebaskan
anak dari pakaian yang ketat
5. Kolaborasi
pemberian anti kejang(diazepam)
|
1. Frekwensi
pernafasan yang meningkat tinggi dg irama yang cepat sebagai salah satu
indikasi sumbatan jalan nafas oleh benda asing, contoh : lidah
2. Posisi
semifowler akan menurunkan tahanan tekanan intraabdominal terhadap paru-paru. Hiperektensi membuat
jalan nafas dalam posisi lurus dan bebas hambatan
3. Mencegah
lidah tertekuk yang bisa menutup jalan nafas
4. Mengurangi
tekanan terhadap rongga torak sehingga
tidak terjadi keterbatasan pengembangan paru
5. Diazepam
bekerja menurunkan tingkat fase depolarisasi yang cepat di sisitem
persyarafan pusat sehingga dpat terjadi penurunan spasma pada otot dan
persarafan perifer
|
Diagnosa
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
2
|
Hiper-
termia
b.d proses infeksi.
Tujuan :
Suhu tubuh dalam batas normal. Indikator:
Suhu tubuh 36 OC - 37 OC
|
Fever treatment:
1. Monitor warna
dan suhu kulit
2. Anjurkan
klien untuk minum yang banyak
3. Monitor TTV
4. Anjurkan
untuk kompres dengan air hangat
5. Anjurkan
klien menggunakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat
6. Kolaborasi antipyretik
|
1. Mengetahui tingkat hipertermia
2. Mengganti cairan yang hilang
3. Menilai kemajuan
4. Mempecepat penguapan
5. Mengurangi
produksi panas dan membantu penguapan
6. Menurunkan demam
|
Diagnosa
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
3
|
Resiko
cedera b.d penurunan kesadaran pada saat kejang.
Tujuan
:
Pengetahuan:
Kontrol resiko.
Indiaktor:
|
1. Hitung
lamanya periode kejang
2. Hindari
penggunaan pengikatan. Diskusikan dengan dokter bila diperlukan
3. Pertimbangkan
penggunaan pengaman tempat tidur khusus di sekeliling klien
4. Minta
keluarga untuk menemani klien
5. Jelaskan semua
kemungkinan bahaya seperti benda-benda
keras disekeliling anak
6. Hindarkan
menaruh apapun di mulut anak seperti spatel lidah, makanan atau minuman saat
kejang
|
1. Untuk
mengetahui durasi kemungkinan hipoksia, dan kebutuhan perawatan khusus
2. Klien yang
diikat sering menunjukkan peningkatan frekuensi jatuh, kemungkinan sebagai hasil
hilangnya koordinasi
3. Tempat tidur
khusus merupakan alternative pilihan pengikatan dan dapat menjaga keamanan
klien selama periode kejang
4. Mencegah
klien dari jatuh secara tiba-tiba
5. Melindungi
anak dari benturan fisik
6. Mencegah
aspirasi yang dapat mengganggu sistenm pernapasan
|
Diagnosa
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
4
|
Cemas b.d krisis situasional
Tujuan
:
Koping keluarga meningkat.
Kriteria hasil:
1. Verbalisasi
pengontrolan perasaan
2. Verbalisasi
penerimaan stuasi
3. Melaporkan
penurunan pikiran negatif
|
Mengurangi
cemas :
1. Jelaskan
semua prosedur, meliputi sensasi yang mungkin dialami selama prosedur
2. Sediakan
informasi faktual tentang diagnosis, penanganan dan prognosis
3. Dukung klien
untuk menemani anak dengan cara yang tepat
4. Dengarkan
dengan penuh perhatian
5. Bantu klien
untuk mengidentifikasikan situasi yang menciptakan cemas
6. Bantu klien
untuk menjelaskan deskripsi realistik tentang kejadian yang akan dialami
|
1
& 2. Pengetahuan
dan informasi yang cukup tentang situasi / keadaan penyakit dapat mengurangi
kecemasan
3
& 4. Mengurangi kecemasan orang tua dan
Anak
5. Menunjukan
rasa empati
6. Mereduksi kecemasan
|
E. Implementasi
Pada
tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana
intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan
yang muncul pada pasien (Budianna Keliat, 1994,4).
F. Evaluasi
Evaluasi merupakan
langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota
tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah
tujuan dalam rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan
untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk, 1989
0 komentar:
Posting Komentar