Senin, 21 April 2014

Asuhan Keperawatan Kejang Demam






Konsep Dasar Kejang Demam
A.  Definisi
Kejang demam atau febrile convulsion adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38° c), sering terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun.
B.  Etiologi
Menurut Arif Mansjoer (Kapita Selekta kedokteran, 1999; 434)
§  Demam tinggi yang disebabkan  infeksi saluran nafas atas, Pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
§  Riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung.
§  Perkembangan terlambat.
§  Problem pada masa neonatus.
§  Anak dalam perawatan khusus.
§  Riwayat keluarga dengan epilepsi.
Menurut Ngastiyah (Perawatan Anak Sakit, 1997 ; 230)
§  Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga.
§  Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam.
§  Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
§  Anak dengan ambang kejang rendah

C.  Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui oleh ion K, ion Na, dan elektrolit seperti Cl. Konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.

1
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Perbedaan potensial membran sel neuron disebabkan oleh :
1.    Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2.    Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi, aliran listrik dari sekitarnya.
3.    Perubahan patofisiologis dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan menyebabkan metabolisme basal meningkat 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, sedangkan pada orang dewasa hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga terjadi kejang.
            Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 derajat celcius, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 derajat celcius. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Infeksi yang terjadi pada jaringan luar kranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis. Penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen




 











  




Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan di respon oleh hipotalamus dengan menaikkan pengaturan suhu dihipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu dihipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian  tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu dihipotalamus, otot, kulit dan jaringan tubuh yang lain akan disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang.
D.  klasifikasi
ada 2 klasifikasi kejang demam yaitu :
1.      Kejang demam simpleks (paling sering terjadi pada anak sekitar 80% dari seluruh kejang demam)
2.      Kejang demam kompleks

Perbedaan keduanya adalah :

KD Simpleks
KD kompleks
Durasi
< 15 menit
> 15 menit
Sifat kejang
Umum ( biasanya seluruh tubuh kejang, tangan ke atas dan mata terbalik)
Sebagian anggota tubuh saja (parsial)
Pengulangan
Tidak berulang dalam 24 jam
Dapat berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kemungkinan epilepsi dikemudian hari
Hampir tidak pernah
Sangat jarang ( 4%)


E.   Manifestasi Klinik
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.
-       Di Sebagian, kriteria Livingstone dipakai sebagai pedoman membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :
-       Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
-       Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit
-       Kejang bersifat umum
-       Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
-       Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
-       Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan
-       Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali

F.   Gambaran Klinis
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, fokal, atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti oleh hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama sering terjadi pada kejang demam yang pertama.
Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung beberapa menit sampai lebih dari 30 menit, tergantung pada jenis kejang demam tersebut. Sedangkan frekuensinya dapat kurang dari 4 kali dalam 1 tahun sampai lebih dari 2 kali sehari. Pada kejang demam kompleks, frekuensi dapat sampai lebih dari 4 kali sehari dan kejangnya berlangsung lebih dari 30 menit.
Gejalanya berupa:
¤       Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang tejradi secara tiba-tiba)
¤       Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam)
¤       Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik)
¤       Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit)
¤       Lidah atau pipinya tergigit
¤       Gigi atau rahangnya terkatup rapat
¤       Inkontinensia (mengompol)
¤       Gangguan pernafasan
¤       Apneu (henti nafas)
¤       Kulitnya kebiruan
Setelah mengalami kejang, biasanya:
¤       akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1 jam atau lebih
¤       terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)-sakit kepala
¤       mengantuk
¤       linglung (sementara dan sifatnya ringan)

G.  Komplikasi
   1. Kejang berulang
   2. Epilepsi
   3. Hemiparese
   4. Gangguan mental dan belajar

I. Pemeriksaan Diagnostik
1.      Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<>BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
      Elektrolit : K, Na
      Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
      Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
      Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2.      Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
3.      Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4.      Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5.      EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6.      CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

J. Penatalaksanaa medis
Menurut Ngastiyah (1997: 232-235) dan Hassan & Alatas (195: 850-854) ada 4 faktor yang perlu dikerjakan :
1.      Segera diberikan diezepam intravena  dosis rata-rata 0,3mg/kg  ≥ 10 kg = 10 mg
Bila kejang tidak berhenti tunggu 15 menit  atau diazepam rektal  dosis ≤ 10 kg = 5mg/kg dapat diulangi dengan dosis/cara yang sama.





Kejang berhenti berikan dosis awal fenobarbital
                                    neonatus =30 mg IM
                                    1 bln-1 thn=50 mg IM
                                    >1 thn=75 mg IM
Ø  Pengobatan rumat
4 jam kemudian
Hari I+II = fenobarbital 8-10 mg/kg dibagi dlm 2 dosis
Hari berikutnya = fenobarbital 4-5 mg/kg dibagi dlm 2 dosis
Bia diazepam tidak tersedia langsung memakai fenobarbital dengan dosis awal selanjutnya diteruskan dengan dosis rumat.

2.      Membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya
3.      Meurunkan panas bila demam atau hipereaksi, dengan kompres seluruh tubuh dan bila telah memungkinkan dapat diberikan parasetamol 10 mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3 mg/kgBB
4.      memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama (> 10 menit) dengan IV : D5 1/4,  D5 1/5, RL.

Ada juga penatalaksanaan yang lain yaitu:
a.                     Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 - 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 - 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca - glukosa
b.                     hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca
Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.
c.                     Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.
Penatalaksanaan keperawatan
1.      Penatalaksanaan keperawatan saat serangan kejang adalah :
2.      Semua pakaian ketat dibuka
3.      Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
4.      Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin  kebutuhan oksigen
5.      Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
6.      Pasang tongspatel saat timbul serangan kejang
Pengobatan rumat
Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari pertama, kedua diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya.




Asuhan keperawatan


A.    Pengkajian

1.      Identitas Klien
Umur biasanya enam bulan sampai empat tahun, jenis kelamin laki-laki perempuan dengan perbandingan 2:1, Insiden tertinggi pada anak umur dua tahun. (Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, 1997 ; 231)
2.      Riwayat Kesehatan
-
3.      Keluhan utama
Kejang karena panas.
4.      Riwayat penyakit sekarang
1). Lama kejang kurang dari lima menit.
2). Kejang bersifat general.
3). Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam.
4). Tidak ada kelainan neurologis baik klinis maupun laboratorium.
5.      Riwayat penyakit dahulu
Adanya faktor predisposisi terjadinya kejang demam antara lain trauma kepala, Infeksi, dan reaksi terhadap imunisasi. (Saharso D, 1996: 43)
6.      Riwayat penyakit keluarga
25-50 % kejang demam mempunyai faktor keturunan adanya faktor keluarga yang menderita kejang demam, penyakit saraf atau penyakit lainnya. (Saharso D, 1996 : 42)
7.      Riwayat sebelumnya
1). Riwayat kehamilan : penyakit yang diderita ibu, perdarahan pervagina dan obat- obatan yang digunakan.
10
2). Riwayat Persalinan : kelahiran spontan atau dengan tindakan, perdarahan
 antepartum, KPD, Aspixia. (Saharso D, 1996  43)
8.      Activity Daily Live
1). Makanan atau cairan
Pasien akan mengeluh sensitif terhadap makanan yang merangsang aktivitas kejang, kerusakan gigi, adanya hiperplasi ginggiva sebagai akibat efek samping dilantin.
2). Aktivitas dan Istirahat
Pasien mengeluh capek, lelah, kelemahan umum, pembatasan aktivitas dan perubahan tonus otot.
3). Eleminasi
Incontinensia
Face Ictal : peningkatan tekanan blader dan tonus springter.
Post ictal  : relaksasi otot.
4). Riwayat Psiko sosial
                                   i.      Psiko
Anamnese tentang temperan anak, kemampuan kognitif dan respon tentang kondisi sakit serta hospitalisasi.
                                 ii.      Sosial
Anamnesa terhadap status dan sumber ekonomi keluarga, respon keluarga dan pola perawatan anak sehari-hari.
9.      Pemeriksaan
a)      Tanda-tanda vital
Kesadaran terjadi penurunan
Fase Ictal : Peningkatan nadi, respirasi, tekanan darah dan Suhu.
Post ictal : V5 normal kadang depresi.
b)      Pemeriksaan Fisik
·         Kepala :
Disporposi bentuk kepala, kejang umum, tonik klonik dan sakit kepala.
·         Mata :
Dilatasi Pupil, gerakan bola mata dan kelopak mata cepat, reflek cahaya turun dan konjungtiva merah.
·         Mulut :
Produksi saliva berlebihan, vomiting dan Cyanosis mukosa mulut.
·         Hidung :
Adanya pernafasan cuping hidung, Cyanosis.
·         Leher :
Biasanya terjadi kaku kuduk.
·         Dada :
-    Fase ictal : Cyanosis, penurunan gerakan pernafasan dan adanya tarikan intercostae.
-    Post ictal : Apnoe atau nafas dalam dan lambat.
·         Abdomen :
-    Fase Ictal : Peningkatan blader dan tonus otot spingter.
-    Post ictal  : relaksasi otot dan hiperperistaltik.
·         Ekstermitas
Fase Ictal : kejang pada ekstremitas atas dan bawah dan cyanosis pada jari tangan dan kaki.
Post ictal  : relaksasi otot dan nyeri serta kelemahan pada otot.
c)      Pemeriksaan Umum
Ø  Elektrolit :
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang.
Ø  Glukosa :
Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
Ø  BUN :
Peningkatan BUN merupakan potensi kejang.
Ø  CBC:
Anemia Aplastik dapat terjadi sebagai efek samping pemberian obat-obatan.
Ø  Skull X-ray :
Adanya desak ruang dan lesi.
Ø  EEG :
Fokus aktivitas kejang.
Ø  CT scan :
Mendeteksi lesi lokal serebral abses tumor dengan atau tanpa kontras.



B.     Analisa Data

No
Data
Masalah
Etiologi
1
Ds :
Ibu pasien mengatakan anak terlihat tersedak-sedak
Do :
RR #, irama pernafasan cepat dan dangkal, lidah terlihat menekuk ke dalam
Resiko tinggi obstruksi jalan nafas
Penutupan faring, spasme otot bronkus
2
Ds :
Ibu mengatakan badan anak demam
Do :
S: 38 0C, kening teraba panas, terdapat pembengkakan kemerahan pada tonsil atau telinga.
Leukosit : 11.000mg/dl
Hipertermi
Infeksi
( kelenjar tonsil, telinga, bronkus )
3
Ds :
Ibu pasien mengatakan anak kejang
Do :
Kesadaran apatis, anak terlihat diam dan linglung
Resiko cedera
penurunan kesadaran pada saat kejang.

4
Ds :
Keluarga mengatakan masih belum mengerti tentang penyakitnya
Do :
Keluarga sering bertanya
Cemas
krisis situasional

C.     Diagnosa

1.      Resiko tinggi obstruksi jalan nafas b/d Penutupan faring, spasme otot bronkus
2.      Hipertermia b/d proses infeksi.
3.      Resiko cedera b/d penurunan kesadaran pada saat kejang.
4.      Cemas b/d krisis situasional

D.    Intervensi
No. DX
Diagnosa
Intervensi
Rasional
1
Resiko tinggi obstruksi jalan nafas b/d Penutupan faring, spasme otot bronkus

Tujuan :
Mempertahan-kan efektivitas pola nafas dengan jalan nafas yang bersih dan tercegah dari aspirasi
1.      Observasi jalan nafas, frekwensi pernafasan, irama pernafasan tiap 15 menit pada saat penurunan keasadaran

2.      Tempatkan anak pada posisi semifowler dg kepala hiperektensi




3.      Pasang tongspatel saat timbul serangan kejang

4.      Bebaskan anak dari pakaian yang ketat



5.      Kolaborasi pemberian anti kejang(diazepam)
1.      Frekwensi pernafasan yang meningkat tinggi dg irama yang cepat sebagai salah satu indikasi sumbatan jalan nafas oleh benda asing, contoh : lidah
2.      Posisi semifowler akan menurunkan tahanan tekanan intraabdominal  terhadap paru-paru. Hiperektensi membuat jalan nafas dalam posisi lurus dan bebas hambatan
3.      Mencegah lidah tertekuk yang bisa menutup jalan nafas
4.      Mengurangi tekanan  terhadap rongga torak sehingga tidak terjadi keterbatasan pengembangan paru
5.      Diazepam bekerja menurunkan tingkat fase depolarisasi yang cepat di sisitem persyarafan pusat sehingga dpat terjadi penurunan spasma pada otot dan persarafan perifer



Diagnosa
Intervensi
Rasional
2
Hiper-
termia b.d proses infeksi.

Tujuan :
Suhu tubuh dalam batas normal. Indikator:
Suhu tubuh 36 OC -  37 OC
Fever treatment:
1.      Monitor warna dan suhu kulit
2.      Anjurkan klien untuk minum yang banyak
3.      Monitor TTV
4.      Anjurkan untuk kompres dengan air hangat
5.      Anjurkan klien menggunakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat
6.      Kolaborasi antipyretik

1.      Mengetahui tingkat hipertermia

2.      Mengganti cairan yang hilang

3.      Menilai kemajuan
4.      Mempecepat penguapan

5.      Mengurangi produksi panas dan membantu penguapan

6.      Menurunkan demam


Diagnosa
Intervensi
Rasional
3
Resiko cedera b.d penurunan kesadaran pada saat kejang.

Tujuan :
Pengetahuan: Kontrol resiko.
Indiaktor:


1.      Hitung lamanya periode kejang

2.      Hindari penggunaan pengikatan. Diskusikan dengan dokter bila diperlukan

3.      Pertimbangkan penggunaan pengaman tempat tidur khusus di sekeliling klien


4.      Minta keluarga untuk menemani klien
5.      Jelaskan semua  kemungkinan bahaya seperti benda-benda keras disekeliling anak
6.      Hindarkan menaruh apapun di mulut anak seperti spatel lidah, makanan atau minuman saat kejang
1.      Untuk mengetahui durasi kemungkinan hipoksia, dan kebutuhan perawatan khusus
2.      Klien yang diikat sering menunjukkan peningkatan frekuensi jatuh, kemungkinan sebagai hasil hilangnya koordinasi
3.      Tempat tidur khusus merupakan alternative pilihan pengikatan dan dapat menjaga keamanan klien selama periode kejang
4.      Mencegah klien dari jatuh secara tiba-tiba
5.      Melindungi anak dari benturan fisik


6.      Mencegah aspirasi yang dapat mengganggu sistenm pernapasan


Diagnosa
Intervensi
Rasional
4
Cemas b.d krisis situasional

Tujuan :
Koping keluarga meningkat.
Kriteria hasil:
1.      Verbalisasi pengontrolan perasaan
2.      Verbalisasi penerimaan stuasi
3.      Melaporkan penurunan pikiran negatif


Mengurangi cemas :
1.      Jelaskan semua prosedur, meliputi sensasi yang mungkin dialami selama prosedur
2.      Sediakan informasi faktual tentang diagnosis, penanganan dan prognosis
3.      Dukung klien untuk menemani anak dengan cara yang tepat
4.      Dengarkan dengan penuh perhatian
5.      Bantu klien untuk mengidentifikasikan situasi yang menciptakan cemas
6.      Bantu klien untuk menjelaskan deskripsi realistik tentang kejadian yang akan dialami

1        & 2. Pengetahuan dan informasi yang cukup tentang situasi / keadaan penyakit dapat mengurangi kecemasan



3        &   4. Mengurangi kecemasan orang tua dan
Anak


5.  Menunjukan rasa empati


6.  Mereduksi kecemasan

E.     Implementasi
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada pasien (Budianna Keliat, 1994,4).

F.      Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai dengan baik atau  tidak dan  untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk, 1989



.:: shout ::.


Anda berminat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik di sini